Ketika Kaum Pekerja Mulai Hanyut Dengan Arus Kapitalisme
Picture
taken from : google.co.id
“Kaum Pekerja”, ya istilah ini
kemudian saya gunakan dalam tulisan kali ini dikarenakan telah terjadi
pergeseran makna pada kata “Buruh”. Di Indonesia kata “Buruh” merujuk pada
pekerja kasar seperti pekerja pabrik, buruh tani, pekerja perkebunan dan
lain-lain. Namun pada dasarnya yang dimaksud buruh adalah kaum pekerja secara
umum. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang bersifat umum,
yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Artinya
secara umum istilah buruh yang digunakan di Indonesia sebenarnya merujuk kepada
kaum pekerja.
Di dalam hubungan industrial
tentulah terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pemodal dan pekerja. Hubungan
industrial ini yang kemudian memunculkan hubungan simbiosis mutualisme, dimana
pemodal mendapatkan hasil dari penjualan barang atau jasa yang di produksi para
pekerja, dan para pekerja mendapatkan upah dari lelah keringat mereka. Hubungan
ini haruslah terjadi dalam kerangka harmonis dan romantis, dimana kedua belah
pihak saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Bagaikan sepasang kekasih
yang sedang memadu biduk cintanya. Namun, biduk cinta itu kemudian seakan
musnah di kala sang pemilik modal mulai menunjukkan keserakahannya. Terjebak
dalam pengaruh kapitalisme yang mulai tumbuh berkembang di para pemilik modal
yang kemudian menjadikan retaknya hubungan romantisme tersebut. Pada era
kapitalisme ini, para pekerja mulai kehilangan kebebasan individual karena
telah dirampas oleh system yang telah melingkupinya. Mereka tidak memiliki
waktu, tenaga, serta keinginan sendiri karena dipenjara oleh system yang
diterimanya sebagai sebuah kenyataan.
Kehausan dan kelaparan para pemilik
modal menyebabkan para pekerja terus menerus di tindas. Jam kerja berlebih
dengan upah lembur yang tidak layak, jaminan hari tua yang hanya mimpi, cuti
untuk bersama keluarga yang hanya menjadi fatamorgana serta upah yang dianggap
tidak layak. Hal tersebut merupakan masalah umum yang di hadapi kaum pekerja di
Indonesia. Namun permasalahan tersebut kemudian seolah-olah menjadi
permasalahan pokok yang di hadapi oleh kaum pekerja di Indonesia. Lihat saja,
kini banyak seriakat-serikat pekerja yang terbentuk di Indonesia kemudian
menyuarakan hal serupa pada setiap tuntutan mereka pada tanggal 1 mei (mayday).
Namun kemudian mulai muncul pertanyaan apakah permasalahan tersebut merupakan
permasalahan pokok yang dihadapi? Atau hal tersebut sengaja diciptakan sehingga
para kaum pekerja melupakan permasalahan yang sebenarnya harus mereka
perjuangkan?. Mari kita mulai untuk menganalisa dan merenung sejenak.
Dalam teori ekonomi karl marx
tentang nilai lebih (surplus value), sekeras
apapun buruh berkerja, hal itu tidak akan mampu membuatnya kaya dan sejatera.
Sebaliknya, pemilik modal yang hanya mengeluarkan sedikit keringat bisa terus
menikmati hasil kerja buruh. Dari teori tersebut, kita harusnya kemudian mulai
melihat disekitar kita akan kenyataan dan fenomena yang terjadi. Mari mulai
menambil contoh, para pekerja di pabrik adidas misalnya belum tentu memiliki
upah yang sama dengan hasil separuh dari produk adidas yang mereka hasilkan
dalam satu hari, atau bahkan mereka tidak benar-benar mampu membeli produk yang
mereka hasilkan sendiri dari tangan mereka. Juga mari lihat buruh pabrik mobil
Toyota, apa sang buruh memiliki upah yang sama atau separuh dari nilai jual 1
unit mobil Toyota yang mereka hasilkan, atau para buruh kemudian mampu membeli
mobil yang mereka produksi di pabrik Toyota. Disisi lain kehidupan para pemilik
modal terus menerus bergelimang harta, jas yang mereka kenakan mungkin harganya
sama dengan 1 bulan gaji para pekerja mereka, atau rumah yang dimiliki oleh
sang pemilik modal harganya sama dengan 20 tahun gaji sang pekerja. Anaknya
kemudian dapat mengenyam pendidikan hingga pendidikan tinggi di sekolah dan
universitas terfavorit di dunia, tetapi sang anak buruh bahkan untuk memimpikan
masa depan mereka masih belum berani untuk memandangnya. Istri sang pemilik
modal dapat bersolek dan pergi kesalon untuk perawatan yang sangat berkelas,
sementara itu para istri para pekerja juga sibuk bekerja di pabrik lainnya atau
menjadi buruh cuci untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga
mereka.
Para pekerja merupakan ujung tombak
penggerak bagi pemilik modal dalam mendapatkan keuntungan dalam usaha produksi.
Namun para pekerja atau yang kini mereka sebut buruh masih dipandang sebagai
barang yang kapan pun mereka bisa ganti tnapa kompensasi apapun. Mari melihat
jumlah total pekerja atau buruh yang ada di Indonesia, berdasarkan data dari
BPS Indonesia tahun 2017 terdapat ±72 juta buruh atau tenaga kerja yang
bergerak di semua sektor. Begitu besar jumlah buruh atau tenaga kerja di
Indonesia yang seharusnya kemudian juga menjadi perhatian baik dari pemerintah
atau pihak investor. Para pekerja tak lagi hanya di pandang sebagai barang atau
mesin yang bila tak produktif bisa mereka depak kapanpun mereka mau, pemerintah
juga harus menempatkan persoalan pekerja menjadi persoalan utama dan tak hanya
memandang buruh atau pekerja hanya sebgai manusia kelas bawah yang hanya butuh
upah.
Perlindungan kesehatan, jaminan
hari tua, cuti serta peningkatan kapasaitas merupakan hak buruh dalam bekerja.
Para Pekerja perlu mendapatkan hak mereka terlebih mereka telah memenuhi
tanggung jawab mereka sebagai pekerja. Setiap serikat pekerja juga mesti
menyadari akan perjuangan buruh bukan hanya soal persoalan upah, bukan hanya
persoalan jaminan kesehatan, tetapi bagaimana para kaum pekerja atau buruh
dengan leluasa mendapatkan keadilan dari hasil produksi yang merekea lakukan,
bagaimana para buruh atau pekerja mendapatkan tempat setara dengan para
pemodal, karena para pekerja atau buruh adalah rantai utama produksi.
Bersatulah kaum Pekerja!!!