Secara umum orang akan melihat bahwa kasus Rohingya adalah kasus permasalahan antar agama (Islam dan Budha). Namun, ini hanyalah dampak yang berasal dari keserakahan negara besar akan penguasaan sumber daya alam terutama minyak di Myanmar.
Mari mulai mengulas.......
Myanmar memang dikenal sebagai Negara kaya Sumber daya alam, meliputi
emas, berlian dan migas. Terutama ketika tahun 2004 ditemukan gas bumi
di Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal. Prakiraan deposit gas mencapai 5,6
triliun kubik yang tidak akan habis di eksploitasi hingga 30 tahun, maka
semenjak itulah bentangan pantai sepanjang 1.500 km antara Teluk Bengal
- batas laut Andaman, Thailand menjadi incaran Negara Negara seperti
Cina, Jepang, India, Perancis, Singapura, Malaysia, Thailand, Korsel dan
Rusia.
Perebutan sumberdaya alam yang melibatkan negara-negara besar tersebut kemudian dimenangkan oleh China dan Rusia. Saat ini China berambisi untuk membangun pipa minyak sepanjang 2.300 km dari pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal
sampai Kunming, China Selatan. Dapat dibayangkan cengkaraman China akan
Myanmar sangat kuat. Untuk mewujudkan keinginan besar tersebut, China dan Rusia kemudian memberikan bantuan kepada Junta Militer Myanmar berupa bantuan persenjataan dan dana untuk membangun infrastruktur perekonomian.
Amerika Serikat melalui Chevron (As), sebagai negara besar yang juga serakah dan haus akan sumberdaya migas myanmar, lamban dalam mengikuti gerak China dan Rusia. Namun Amerika Serikat melihat titik lemah yang dilakukan oleh China dan Rusia. China dan Rusia belumlah benar-benar dapat meyakinkan Myanmar untuk menyelesaikan masalah Rohingya. Warga Rohingya yang menempati wilayah arakan dianggap batu sandungan dalam mewujudkan pipa minyak dari myanmar menuju China. Penduduk Rohingya yang berada dikawasan geo-politik strategis China di
Myanmar dipaksa menyingkir dari kawasan tersebut, karena dianggap
mengancam Jalur Pipa Shwe.
dampak sosial ekonomi akibat proyek Gas dan Jalur Pipa Shwe ini yang
kemudian melahirkan krisis politik akibat marginalisasi ekonomi. Krisis
tersebut yang telah membesar menjadi bola salju kemudian dilempar ke isu
rasis oleh kelas penguasa hingga terjadi konflik kekerasan terhadap
etnik Rohingya (minoritas) oleh kelompok masyoritas di Myanmar demi
menjaga kepentingan kelas penguasa.
Kontradiksi ekonomi dan politik yang ada di Myanmar ini yang dapat
menjelaskan bangkitnya nasionalisme dan fundamentalisme agama yang
bercampur dengan islamopobhia dan rasisme. Ketimpangan ekonomi dan
kebijakan negara neoliberal yang tak memihak rakyat telah menciptakan
keresahan dan itu memuncak pada Desember 2011 ketika pembangunan Jalur
Pipa Shwe memicu kemarahan besar dan kerusuhan di kota Arakan dan
sekitarnya. Ketidakstabilan politik tersebut akan dapat mengancam
kekuasaan penguasa dan kelas-kelas atas, sehingga dalam rangka
menciptakan stabilitas dan mengalihkan kemarahan, maka dibuatlah (baik
riil ada ataupun sengaja) “musuh bersama”.
Amerika Serikat yang melihat peluan ini, kemudian juga ikut memanfaatkan konflik yang terjadi di Rohingya. Apabila konflik terus berlanjut maka, PBB akan mengirim pasukan perdamaiannya, dan Amerika Serikat akan mulai mengintervensi junta militer Myanmar dengan faham Demokrasi mereka, dan secara umum proyek migas antara myanmar dan China akan di batalkan. Hal ini yang nantinya juga akan terus menerus menambah panjang kekerasan di Myanmar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar