Jakarta, Rabu (24/08/2016) melalui rapat terbatas kabinet Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyerukan untuk percepatan reforma agraria. Joko Widodo mengatakan semagat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan bagi masyarakat dalam penguasaan, kepemilikan, dan
pemanfaatan tanah serta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Menurut sang presiden Reforma agraria juga diharapkan mampu mengatasi kemiskinan dengan mengatasi ketimpangan penguasaan tanah yang ada saat ini. Reforma Agraria yang akan di jalankan oleh jokowi juga berorientasi kepada legalisasi sertifikat aset lahan, redistribusi tanah bagi rakyat dan pemanfaatan kawasan hutan juga bagi rakyat.
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang akan di targetkan di dalam program reforma agraria Presiden Jokowi tersebut. Sebanyak 138.000 ha lahan dari 9 juta ha yang akan didistribusikan di seluruh Indonesia akan di targetkan di dalam program reforma agraria yang akan di jalankan di Kalimantan barat.
Reforma agraria ini seakan mengulang kembali kenangan reforma agraria palsu yang di lontarkan saat masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan Skema yang sama dimana sertifikasi-sertifikasi akan di keluarkan bagi tanah-tanah masyarakat untuk mewujudkan distribusi dan penguasaan tanah yang adil.
Pertanyaan kemudian mencuat, apakah program reforma agraria ini benar-benar di wujudkan dan akan berjalan dengan baik? atau hanya menjadi ajang pencitraan mengingat program ini ditargetkan selesai pada 2019. Melihta fenomena yang terjadi, reforma agraria harusnya mengacu kepada UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. UU ini lah yang kemudian menjadi acuan dan panduan didalam melaksanakan program reforma agraria atau land reform. Didalam implementasinya saat ini saja, banyak sekali undang-undang sektoral yang lahir dan bertentangan dengan UU Pokok Agraria tersebut. Lihat saja bagaimana UU Penanaman modal asing No.1 tahun 1967, UU kehutanan No.41 tahun 1999, UU perkebunan No. 18 tahun 2004 yang kemudian di perbaharui dengan UU no. 39 tahun 2014 serta UU minerba No. 4 tahun 2009. UU tersebut secara umum melegalisasi masuknya investasi-investasi berbasis hutan dan lahan yang tentunya merampas hak-hak masyarakat adat dan petani yang ada di Indonesia.
Di Kalimantan Barat Sendiri, sepanjang 2015 tercatat 35 konflik antara masyarakat adat dan petani dengan perkebunan sawit skala besar (link-ar borneo,2015). Artinya bahwa untuk menjalankan reforma agraria sejati tidaklah hanya berbatas kepada retribusi dan sertifikasi tanah, namun bagaimana konflik-konflik agraria yang ada dapat menurun dan hak masyarkat adat serta petani atas tanah dapat di akui secara penuh dan dilindungi oleh negara. Undang-Undang sektoral yang telah terbit kemudian juga menjadi penghambat di dalam melakukan dan melaksanakan reforma agraria tersebut. Penetapan status kawasan hutan sepihak oleh pemerintah juga menjadi permasalahan tersendiri di masyarakat. Bagaimana lahan-lahan dan hutan masyarkat adat serta petani di tetapkan sebagai kawasan hutan lindung dan taman nasional yang kemudian semakin mempersempit hak dan wilayah kelola masyarakat adat dan petani. 13 Paket kebijakan jokowi yang secara keseluruhan mendorong percepatan pembangunan di bidang Industri. Hal ini kemudian sangat bertentangan dengan reforma agraria yang dicetuskan oleh jokowi.
Secara garis besar program reforma agraria ini hanyalah menjadi reforma agraria palsu apabila industri di bidang sektoral yang melibatkan investasi skala besar terus melenggang dan terus melakukan perampasan lahan masyarakat adat dan petani.