Senin, 02 Juli 2018

“Agama Mu, Tunggangan Mu” Perebutan Kedudukan Dengan Pengorbanan Agama


“Agama Mu, Tunggangan Mu”
Perebutan Kedudukan Dengan Pengorbanan Agama


 
 
Ketika memutuskan akan menulis ini, saya sadar akan banyak kontroversi yang timbul dan judgement terhadap saya sebagai penulis, tapi ya di Negara ini semua bebas berpendapat asal dapat di pertanggung jawabkan hehehe…
Beratus-ratus tahun yang lalu agama diturunkan oleh Tuhan YME atau Allah Swt, melalui nabi dan rasulnya. Agama diturunkan untuk memberikan panduan kepada umat manusia dalam bertindak, bertingkah laku dan juga menjalani hidup sebagaimana mestinya dan juga beriman kepada sang pencipta (apapun sebutannya di agama masing-masing). Agama juga di turunkan bersama dengan kitab suci sebagai petunjuk bagi umat manusia semesta alam. Setiap agam yang diturunkan baik mulai pada zaman Nabi sebelum Muhammad hingga Nabi Muhammad selalu mengajarkan akan kebaikan dan perdamaian. Mengajarkan persaudaraan antara satu dengan yang lainnya.
Seperti yang tertuang di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujarat Ayat 11 dan 13.
  1. QS.Al-Hujurat ayat 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
2.      QS. Al-Hujurat ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
NB : saya menyadur al-qur’an dikarenakan ini ajaran agama saya dan saya tak berani mengambil saduran dari kitab suci lain dikarenakan takut terjadi kesalah fahaman karena saya seorang muslim.
Persaudaraan (ukhuwah) merupakan salah satu sifat terpuji (husnudzan) yang harus kita amalkan. Oleh karena itu ada banyak sekali dalil tentang ukhuwah, baik dalam alquran maupun hadits. Setiap orang tentu mendambakan sebuah hubungan baik dalam kehidupan keluarga maupun dengan masyarakat yang lebih luas baik di lingkungan pendidikan kerja, sosial dan lingkungan lainnya. Baik dengan orang-orang seagama rnaupun dengan pemeluk agama lainnya. Saya rasa agama yang lainnya juga mengajarkan tentang persaudaraan dan perdamaian dengan sesama saudara baik seiman dan tak seiman.
Mari menilik kebelakang
Relasi antara agama dan politik itu sangat dinamis, unik, menarik, sekaligus lucu. Keduanya kadang saling berseteru. Sejarah mencatat, tokoh, komunitas, dan institusi keagamaan bisa berperan menjadi penjaga moral masyarakat serta pengkritik kekuasaan yang garang. Pula, agama bisa menjadi sumber energi luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap rezim korup dan despotik. Sejarah gerakan Gereja Katolik di Amerika Latin, Black Chruches di Amerika Serikat, Sufi Sanusiyah di Lybia, atau Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Banten, Indonesia, hanyalah sekelumit contoh sejarah dimana agama telah melakukan fungsi kritisnya sebagai medium kritik sosial sebuah masyarakat sekaligus sarana perubahan politik sebuah tatanan kekuasaan.
Penting untuk dicatat, bukan hanya agama yang melakukan perlawanan terhadap politik. Politik juga sering melawan, mengintimidasi, dan menghancurkan agama. Dengan kata lain, hubungan sekaligus nasib agama dan politik akan ditentukan oleh otoritas mana yang paling kuat dan dominan dari keduanya serta bagaimana watak dan karakter para elit politik dan elit agama yang kebetulan berkuasa. Jika politik menjadi “superordinat”, maka agama akan berpotensi menjadi “subordinat”. Begitu pula sebaliknya.
Sedikit kembali kebeberapa ratus tahun kebelakang pada saat perang salib terjadi, Seorang pendeta kristiani pernah berkata kepada seorang ksatria salib,
“Aku tidak ingin berbicara persoalan agama. Disana hanya kutemukan orang-orang fanatik dan buta yang mengatasnamakan agama untuk melegalisasikan penindasan dan ketidakadilan. Menganggap dirinya memahami kalimat Tuhan dan menjadi satu-satunya representatif Tuhan di dunia. Karena Agama yang sebenarnya adalah apa yang ada dihatimu, Ia akan menuntunmu untuk menegakkan kesejahteraan, keadilan dan kebenaran. Karena itu merupakan alasan mengapa engkau dilahirkan.”
Perang salib merupakan sejarah yang memiliki cukup banyak sudut pandang dan sarat akan kepentingan. Umat Islam, Kristen bahkan Yahudi memiliki versi sejarah yang berbeda dalam perang salib. Satu kaum mengunggulkan “cerita” dalam sejarah perang salib terhadap kaum yang lain. Bagaimanapun, meskipun kondisi saat itu merupakan situasi dimana negara-negara di dunia sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi. Terlepas apakah perluasan kenegaraan tersebut terlepas dari sentimen agama maupun tidak. Namun, pada kanyataan yang terjadi dalam perang salib peperangan perluasan daerah “jajahan” tersebut mengatasnamakan agama. Meyakini bahwa agama yang mereka bawa sebagai penyelamat dan meyakini bahwa meninggal dalam peperangan merupakan jalan menuju surga. Perang yang sebenarnya terkait pada perluasan wilayah menjadi tajam ketika mulai dibenturkan dengan agama samawi yang di anut (Kristen dan Islam). Dari sejarah seharusnya manusia belajar akan kekejaman manusia itu sendiri yang memanfaatkan agama bagi kepentingan politis.
Merefleksi keadaan masa kini
Indonesia, terkenal dengan keberagamannya. Negara yang ramah akan perbedaan dimana umat-umat agama samawi dapat hidup berdampingan. Bagaimana tidak, Negara yang dahulunya pada masa kerajaan yang merupakan mayoritas penganut Hindu-Budha kini berbalik menjadi mayoritas muslim bahkan menjadi Negara dengan jumlah muslim terbesar didunia, dapat hidup berdampingan dengan damai. Hampir di setiap sudut negeri kita dapat melihat gereja, masjid, dan rumah ibadah lainnya dapat berdiri dan penganutnya dapat menjalankan ibadah dengan tenang. Namun dapat dikatakan kini mulai runtuh dan terkikis.
Umat beragama di Negara ini mulai merasa tidak nyaman beribadah, kecurigaan antara satu umat dengan umat lainnya terus meningkat. Hinaan, cercaan, cemooh mencemoohi, menganggap satu agama berhak berada di atas agama lainnya terus bergejolak di Indonesia. Situasi ini kemudian seolah-olah di ciptakan untuk memecah belah negeri ini. Ketika idul fitri terjadi penyerangan masjid, ketika Natal terjadi Bom di gereja, begitu pula lainnya.
Situasi politik yang kemudian memanas juga menyeret-nyeret agama kedalamnya, lihat saja bagaimana para elit-elit politik berlomba-lomba untuk menjadi orang soleh. Mengenakan peci, memakai sorban, naik haji, sholat, bertemu tokoh-tokoh agama, membangun gereja, bertemu para pastor dan uskup, memasang topeng kekhusyu’an saat beribadah, semua mereka lakukan. Persaingan politik membuat mereka yang tak pernah ke Masjid menjadi rajin kemasjid, membuat mereka yang tak pernah ke gereja mendengarkan pastor menjadi rajin kegereja. Membuat mereka yang tak pernah memasuki pura menjadi manusia yang sangat rajin berada di Pura. Sisipositif memang melihat fenomena ini, namun ini hanyalah fatamorgana sesaat yang ada.
Menganalisa lebih jauh sebenarnya, perpecahan antar umat beragama ini lah yang sebenarnya di inginkan oleh para kaum imperialisme. Kita kemudian di sibukkan dengan melakukan persekusi kepada orang-orang yang menghina agama, sementara itu, Investasi asing baik dari Amerika, Inggris, China dan Negara lainnya terus menggerogoti kekayaan sumber daya alam kita. Kita kemudian di sibukkan dengan pemimpin kafir dan non kafir, sementara itu di desa, tanah-tanah petani hilang dan dirampas oleh investasi asing. Kita kemudian di sibukkan dengan utang kepada China dan pekerja asing china yang dia anggap komunis, sementara Amerika terus menerus mendominasi Freeport dan membunuh ribuan rakyat papua. Kita di sibukkan dengan seorang Habib Riziq yang kabur ke arab Saudi karena tersandung kasus chat mesum, tetapi di kota, para buruh di hisap tenaganya oleh para pemodal asing.
Ini lah yang sebenarnya di inginkan oleh Negara-negara besar imperialis tersebut. Kita sibuk dengan urusan religi, tetapi mereka terus menggerogoti kekayaan alam yang ada di Negara ini, shingga kita akan terus terpuruk.
Maka jangan jadikan agamu sebagai tunggangan mu dalam merengkuh kekuasaan politik. Karena hal ini kemudian hanya menjadi bumerang bagi bangsa ini. Kita lupa akan permasalahan pokok bangsa ini, kita luput akan tangis petani di negeri ini, kita lalai akan peluh keringat buruh yang tak mendapatkan upah layak di tempat mereka bekerja.



Jumat, 22 Juni 2018

Ketika Kaum Pekerja Mulai Hanyut Dengan Arus Kapitalisme


Ketika Kaum Pekerja Mulai Hanyut Dengan Arus Kapitalisme


  

                                                                Picture taken from : google.co.id
“Kaum Pekerja”, ya istilah ini kemudian saya gunakan dalam tulisan kali ini dikarenakan telah terjadi pergeseran makna pada kata “Buruh”. Di Indonesia kata “Buruh” merujuk pada pekerja kasar seperti pekerja pabrik, buruh tani, pekerja perkebunan dan lain-lain. Namun pada dasarnya yang dimaksud buruh adalah kaum pekerja secara umum. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang bersifat umum, yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Artinya secara umum istilah buruh yang digunakan di Indonesia sebenarnya merujuk kepada kaum pekerja.
Di dalam hubungan industrial tentulah terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pemodal dan pekerja. Hubungan industrial ini yang kemudian memunculkan hubungan simbiosis mutualisme, dimana pemodal mendapatkan hasil dari penjualan barang atau jasa yang di produksi para pekerja, dan para pekerja mendapatkan upah dari lelah keringat mereka. Hubungan ini haruslah terjadi dalam kerangka harmonis dan romantis, dimana kedua belah pihak saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Bagaikan sepasang kekasih yang sedang memadu biduk cintanya. Namun, biduk cinta itu kemudian seakan musnah di kala sang pemilik modal mulai menunjukkan keserakahannya. Terjebak dalam pengaruh kapitalisme yang mulai tumbuh berkembang di para pemilik modal yang kemudian menjadikan retaknya hubungan romantisme tersebut. Pada era kapitalisme ini, para pekerja mulai kehilangan kebebasan individual karena telah dirampas oleh system yang telah melingkupinya. Mereka tidak memiliki waktu, tenaga, serta keinginan sendiri karena dipenjara oleh system yang diterimanya sebagai sebuah kenyataan.
Kehausan dan kelaparan para pemilik modal menyebabkan para pekerja terus menerus di tindas. Jam kerja berlebih dengan upah lembur yang tidak layak, jaminan hari tua yang hanya mimpi, cuti untuk bersama keluarga yang hanya menjadi fatamorgana serta upah yang dianggap tidak layak. Hal tersebut merupakan masalah umum yang di hadapi kaum pekerja di Indonesia. Namun permasalahan tersebut kemudian seolah-olah menjadi permasalahan pokok yang di hadapi oleh kaum pekerja di Indonesia. Lihat saja, kini banyak seriakat-serikat pekerja yang terbentuk di Indonesia kemudian menyuarakan hal serupa pada setiap tuntutan mereka pada tanggal 1 mei (mayday). Namun kemudian mulai muncul pertanyaan apakah permasalahan tersebut merupakan permasalahan pokok yang dihadapi? Atau hal tersebut sengaja diciptakan sehingga para kaum pekerja melupakan permasalahan yang sebenarnya harus mereka perjuangkan?. Mari kita mulai untuk menganalisa dan merenung sejenak.
Dalam teori ekonomi karl marx tentang nilai lebih (surplus value), sekeras apapun buruh berkerja, hal itu tidak akan mampu membuatnya kaya dan sejatera. Sebaliknya, pemilik modal yang hanya mengeluarkan sedikit keringat bisa terus menikmati hasil kerja buruh. Dari teori tersebut, kita harusnya kemudian mulai melihat disekitar kita akan kenyataan dan fenomena yang terjadi. Mari mulai menambil contoh, para pekerja di pabrik adidas misalnya belum tentu memiliki upah yang sama dengan hasil separuh dari produk adidas yang mereka hasilkan dalam satu hari, atau bahkan mereka tidak benar-benar mampu membeli produk yang mereka hasilkan sendiri dari tangan mereka. Juga mari lihat buruh pabrik mobil Toyota, apa sang buruh memiliki upah yang sama atau separuh dari nilai jual 1 unit mobil Toyota yang mereka hasilkan, atau para buruh kemudian mampu membeli mobil yang mereka produksi di pabrik Toyota. Disisi lain kehidupan para pemilik modal terus menerus bergelimang harta, jas yang mereka kenakan mungkin harganya sama dengan 1 bulan gaji para pekerja mereka, atau rumah yang dimiliki oleh sang pemilik modal harganya sama dengan 20 tahun gaji sang pekerja. Anaknya kemudian dapat mengenyam pendidikan hingga pendidikan tinggi di sekolah dan universitas terfavorit di dunia, tetapi sang anak buruh bahkan untuk memimpikan masa depan mereka masih belum berani untuk memandangnya. Istri sang pemilik modal dapat bersolek dan pergi kesalon untuk perawatan yang sangat berkelas, sementara itu para istri para pekerja juga sibuk bekerja di pabrik lainnya atau menjadi buruh cuci untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.
Para pekerja merupakan ujung tombak penggerak bagi pemilik modal dalam mendapatkan keuntungan dalam usaha produksi. Namun para pekerja atau yang kini mereka sebut buruh masih dipandang sebagai barang yang kapan pun mereka bisa ganti tnapa kompensasi apapun. Mari melihat jumlah total pekerja atau buruh yang ada di Indonesia, berdasarkan data dari BPS Indonesia tahun 2017 terdapat ±72 juta buruh atau tenaga kerja yang bergerak di semua sektor. Begitu besar jumlah buruh atau tenaga kerja di Indonesia yang seharusnya kemudian juga menjadi perhatian baik dari pemerintah atau pihak investor. Para pekerja tak lagi hanya di pandang sebagai barang atau mesin yang bila tak produktif bisa mereka depak kapanpun mereka mau, pemerintah juga harus menempatkan persoalan pekerja menjadi persoalan utama dan tak hanya memandang buruh atau pekerja hanya sebgai manusia kelas bawah yang hanya butuh upah.
Perlindungan kesehatan, jaminan hari tua, cuti serta peningkatan kapasaitas merupakan hak buruh dalam bekerja. Para Pekerja perlu mendapatkan hak mereka terlebih mereka telah memenuhi tanggung jawab mereka sebagai pekerja. Setiap serikat pekerja juga mesti menyadari akan perjuangan buruh bukan hanya soal persoalan upah, bukan hanya persoalan jaminan kesehatan, tetapi bagaimana para kaum pekerja atau buruh dengan leluasa mendapatkan keadilan dari hasil produksi yang merekea lakukan, bagaimana para buruh atau pekerja mendapatkan tempat setara dengan para pemodal, karena para pekerja atau buruh adalah rantai utama produksi.
Bersatulah kaum Pekerja!!!